Rabu, 02 September 2015

Ketika Ghirah tak Lagi Terasa

Masih teringat akan masa-masa kuliah beberapa tahun kemarin . Mungkinkah teman-teman yang biasanya diberi julukuan “domisioner” pada suatu organisasi mengingat akan ghirah atau semangat itu? Mungkinkah teman-teman masih merasakan ghirah yang sama setelah meninggalkan dunia kampus?
Saya berharap teman-teman pembaca masih merasakan ghirah yang sama dengan masa-masa kuliah bagi yang pernah merasakannya karena tidak sedikit saudara-saudara kita yang tidak lagi merasakan ghirah dakwah itu, setelah dia keluar dari dunia kampus, setelah dia keluar dari dunia yang mengajarkannya tentang ideologi, tentang azzam, tentang ghirah dakwah dan tentang semuanya. Tidak sedikit saudara-saudara kita yang hilang atau tidak terlihat lagi jejaknya di jalan dakwah ini setelah dia meninggalkan dunia kampus. Setelah dia masuk pada dunia kerja atau berkeluarga.
Pada kesempatan ini, saya ingin berbagi cerita tentang kisah teman-teman yang mungkin mereka tidak lagi merasakan ghirah yang sama ketika masih berada pada dunia kampus. Bahkan mungkin tidak lagi merasakan atau lupa dengan ghirah itu.
Ada beberapa alasan yang dapat saya garis bawahi dari berbagi kisah mereka yang menjadi “pengantar” hingga mereka tidak lagi mersakan ghirah dakwah itu. Di antaranya adalah sebagai berikut :
  1. Untuk apa datang pengajian jika tidak menambah semangat kita?
Ukhtifillah, apakah hal ini pernah anti rasakan? Ketika kegiatan pengajianmu tidak lagi menambah semangat dakwahmu, tidak lagi menambah semangat perbaikan dirimu? Tidak memberikan “cash” untuk rukhiyahmu? Semuanya berlalu tanpa meninggalkan kesan. Maka perbanyaklah istighfar, karena mungkin ada yang kita lakukan yang tidak diridhai oleh Allah sehingga Allah tidak membuka pintu Rahmat-Nya yang menyebabkan hal itu terjadi. Mari ditata kembali niat awal kita mengikuti pengajian.
Mempertanyakan kembali arti pentingnya pengajian itu diikuti.
Merenungi sejenak tentang ibadah-ibadah yang selama ini kita lakukan.
Tentang shalat kita, mungkinkah hanya sekadar rutinitas gerakan?
Tilawah kita, mungkinkah hanya sekadar keluar dari mulut yang tidak menggetarkan hati kita? Hanya untuk mencapai setoran batasan waktu ODOJ yang kita ikuti?
Mari kita intropeksi diri dahulu sebelum kita mencari pembelaan tentang “pengajian yang katanya tidak lagi menambah semangat”.
  1. Sekarang saya tidak akrab dengan teman pengajianku, sibuk semua, tidak seperti yang dulu.
Sama halnya dengan perkembangan manusia. Ketika masih kecil maka kita akan dimanjakan oleh orang tua tapi ketika sudah dewasa maka kita tidak lagi dimanja bahkan kita yang mungkin harus memanjakan orang lain.
Seperti itulah analogi yang mungkin cocok untuk ini bahwa segala sesuatu memiliki masa tersendiri.. Ketika kita kecewa dengan sifat ustadz/ustadzah kita yang mungkin acuh atau merasa tidak diperhatikan oleh teman pengajian yang sibuk dengan aktivitas mereka sendiri. Maka jangan menjadikan hal itu sebagai alasan dari keaktifan kita mengikuti pengajian karena hal tersebut hanya salah satu aspek dari pengajian itu sendiri. Dan aspek utama dari pengajian itu adalah tujuan awal kita yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berharap mendapatkan Ridha-Nya. Jangan pernah berharap kepada manusia karena suatu saat pasti akan memberikan kekecewaan. manusia tidak luput dari salah dan khilaf.
Kedua alasan tersebut yang bisa saya garis bawahi dari beberapa alasan yang mungkin ada. Kenapa ghirah tidak terasa? Karena ketika ghirah itu masih terasa maka keluhan-keluhan tersebut tidak mungkin ada karena ketika kita ingin jujur kepada diri sendiri maka secara tidak sadar bahwa kita hanya mancari pembelaan untuk sikap kita, mencari alasan untuk membenarkan perubahan sikap kita, mencari kesalahan dari faktor luar terhadap apa yang kita rasakan padahal semuanya kembali kepada diri pribadi masing-masing.
Mari kita kembali merenungi sejenak Firman Allah dalam QS. Al-Ankabut : 2-3.
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?. dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Ujian itu akan selalu ada, baik itu dalam bentuk kenikmatan ataupun sebaliknya karena dari ujian itulah Allah akan memfilter Hamba-nya yang benar-benar bertakwa.
Setiap orang terkadang menemui “titik jenuh” dari rutinitas aktivitasnya sehingga tidak memiliki semangat dalam menjalankan aktivitasnya. Hal itu bisa terjadi ketika kita tidak lagi memiliki tujuan yang jelas dari aktivitas tersebut, semuanya dijalani seakan hanya rutinitas belaka tanpa memiliki makna dan hanya meninggalkan rasa lelah jasmani dan mungkin pada kekeringan rohani. Oleh karena itu, mari merenungi kembali tujuan kita hidup. Masihkah ada tujuan menjadi bagian dari makhluk Allah yang ada dalam QS. Al-Imron : 104
“ dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,merekalah orang-orang yang beruntung”
Saya akhir tulisan ini dengan mengutip syair lagu Saujana “Sekeping Hati”
Tapi, jalan kebenaran
Tak akan selamanya sunyi
Ada ujian yang datang melanda
Ada perangkap, menunggu mangsa
Note : Untuk saudariku yang sedang berjuang melawan titik jenuhnya….

http://www.dakwatuna.com/2015/09/02/74005/ketika-ghirah-tak-lagi-terasa/


Jumat, 06 Maret 2015

Sepelik Inikah Ukhuwah Kita?

“Abu Bakr bersimpuh lalu menggenggam tangan sang Nabi. Ditatapnya mata suci itu dalam-dalam. ‘Antara aku dan putra Al-Khattab,’ ada kesalahpahaman. Lalu dia marah dan menutup pintu rumah. Aku merasa menyesal. Maka kuketuk pintunya, kuucapkan salam berulangkali untuk memohon maafnya. Tapi, dia tidak membukanya, tak menjawabku, dan tak juga memaafkanku.’

Tepat ketika Abu Bakr berkisah, ‘Umar ibn Khattab datang dengan resah. ‘Sungguh aku di utus pada kalian,‘ sang nabi bersabda, lalu kalian berkata, ‘Engkau dusta!’

Wajah beliau tampak memerah, campuran antara murka dan rasa malunya yang lebih dalam dibanding gadis dalam pingitan.

‘Hanya Abu bakr seorang,‘ sambung beliau, ‘yang langsung mengiyakan, ‘Engkau benar ! ’lalu dia membelaku dengan seluruh jiwa dan hartanya. Masihkah kalian tidak takut pada Allah untuk menyakiti sahabatku?’

‘Umar berlinang, beristighfar dan berjalan bersimpuh mendekat. Tetapi tangis Abu Bakr lebih keras, derai air matanya bagai kaca jendela lepas. ‘Tidak ya Rasulullah. Tidak. Ini bukan salahnya,‘ serunya terpatah-patah isak. ‘Demi Allah akulah yang memang yang keterlaluan.‘ lalu dia pun memeluk ‘Umar, menenangkan bahu yang terguncang. Mereka menyatukan rasa dalam dekapan ukhuwah, menyembuhkan luka.“

(Dalam Dekapan Ukhuwah, Salim A Fillah)

***

Insan-insan terbaik ini pun tak lepas dari uji an dalam ukhuwah mereka. Dan begitu pun kita. ukhuwah, atmosfer yang terkadang berganti. Menyengat, menyayat hati hingga sesekali menghalau air mata yang menandakan kesedihan. Sungguh ini sebuah cambuk kecil untuk memikirkan ulang dalam merekatkan kembali ukhuwah kita.

Kita ini terlalu naif jika dibandingkan dengan keadaan generasi salaf. Suatu masyarakat yang dibangun dengan penuh kehangatan, cinta, dan ukhuwah. tidak ada kepura-puraan ataupun keegoisan. Allah dan Rasul-Nya selalu menjadi tempat kembali di saat perselisihan tak mungkin dielakkan. Alhasil, semua berakhir indah dalam bingkai ikatan aqidah.

Aku, kamu, kita… butuh waktu untuk sendiri. Diam dan tenggelam dalam-dalam pada tiap detik masa lalu yang telah kita lalui. Sepelik inikah ukhuwah kita hari ini? Selemah inikah kita menjaga saudara kita? Atau… semudah inikah kita menyalahkan dia tanpa bercermin pada cermin yang bening, bukan dengan cermin yang penuh bercak. Hingga yang terburuk adalah menjadikannya seperti pesakitan.

Kita begitu berharap mampu mempertahankan istana dengan harta benda yang berlimpah. Namun di benteng pertahanan, kita tidak melengkapi prajurit kita dengan senjata dan perbekalan yang memadai. Maka jangan pernah berharap istana nan kokoh itu akan abadi menjadi milik kita.

Karena saudaramu adalah amanahmu… Ia tak hadir dengan sempurna, seperti dirimu yang menyembunyikan jutaan rahasia.

“Mungkin saatnya kita membenahi dulu rasa yang ada dalam hati kita. Masih beningkah ia? Karena sesungguhnya suasana tidak berubah, hanya mungkin ruhiyah kita, akhlak kita, keikhlasan kita yang berubah. Setelah kita membenahi apa yang ada dalam hati kita, bashirah akan menuntun langkah kita dalam dakwah” nasehat dari salah satu sahabat terbaik.

Tidak ada sesuatupun yang naik ke langit yang lebih agung dibanding keikhlasan

Dan tidak ada sesuatupun yang turun ke bumi yang lebih agung dari taufiq Allah

Mungkin saja Allah masih enggan menurunkan taufiq-Nya ke bumi karena hati-hati kita masih saja tersekat prasangka yang tak beralasan, keegoisan yang membuntukan atau nafsu dunia yang melenakan sehingga pintu-pintu langit masih tertutup rapat untuk kita. Saat ukhuwah tak lagi menawan, coba periksa kondisi iman. Mungkin ia kusam karena prasangka, hasad, cinta dunia atau rapuhnya keikhlasan.

“Ya ALLAH, jangan kiranya Engkau cegahkan kami dari kebaikan yang ada pada-Mu karena kejahatan pada diri kami. Ya ALLAH, ampunan-Mu lebih luas dari dosa-dosa kami. Dan rahmah kasih sayang-Mu lebih kami harapkan daripada amal usaha kami sendiri . Ya ALLAH, jadikan kami kebanggaan hamba dan nabi-Mu Muhammad SAW di padang mahsyar nanti “. (K.H. Rahmat Abdullah)

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain…”(QS. Al Hujurat ; 12)

Indah Yuliana
Dakwatuna