Kamis, 03 Maret 2016

Tipisnya Ragaku, Terbentang Luas Jiwaku

Bersungguh-sungguhlah dengan kehinaanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kemuliaannya. Bersungguh-sungguhlah dengan ketidakberdayaanmu, niscaya Ia akan menolongmu dengan kekuasaannya. Bersungguh-sungguhlah dengan kelemahanmu, niscaya Ia akan menolongmu dengan kekuatannya. (Ibnu ‘Athaillah)

Detak irama hidup manusia terus mengalun. Tiap putaran waktu, tiap tindak dan laku, tiap deruan suaramu. Pernahkah kita menilik sedikit ke belakang, apa yang telah kita tanggalkan? Atau kita terlanjur kagum dengan apa yang kita sulam di hari ini? Raga manusia itu sungguh tipis. Air mata, degup jantung, kedipan mata, lantunan semangat. Semua itu memiliki keterbatasan. Akan tiba saatnya ketika mata terkatup hingga tertutup. Karenanya kita sebagai manusia biasa tidak dapat hidup tanpa ada sumber yang abadi. Ya.. sumber abadi itu hanya bisa kita dapatkan dari Illahi Yang Maha Tinggi.

Dan jangan engkau kira itu mudah serta murah. Untuk mendapatkan kekuatan dari Rabb semesta alam sungguh tidak gampang. Harus ditebus dengan harga yang sangat mahal. Menguras segala pengorbanan dan perjuangan yang diiringi dengan segala risiko dan beban. Sudikah kiranya engkau menggenggam erat tawaran itu, wahai saudaraku?

Allah tidak pernah berjanji pada manusia bahwa kita tidak akan merasakan pahit, getir, sakit, terluka, lemah dan hina. Setiap dari diri kita pasti akan merasakannya, walau itu hanya satu bagian rasa dari derita. Tapi ingatlah, Allah menawarkan pada kita kekuatan, kemuliaan, kesehatan dan kebahagiaan. Tergantung pada diri kita menerima atau tidak.

Tinggalkanlah kebisingan dunia sejenak. Sentuhlah nuranimu yang terdalam. Tanyakan pada hatimu. Dan raihlah kesadaranmu. Mereka akan sepakat mengenai satu kata, manusia itu makhluk yang “lemah”. Kita tidak akan bisa memungkiri bahwa kita membutuhkan Allah. Dalam segala hal. Di setiap ucap kata, di setiap langkah kita. Manusia itu makhluk yang lemah.

Begitu tipis raga ini. Begitu lemah diri ini. Begitu terbatas yang kita miliki. Tapi sungguh sombong manusia yang berjalan di bumi. Tidak sadar bahwa kita hanyalah pengemis dan pengutang. Seluruh jiwa, raga, harta dan yang kita punya hanyalah pinjaman semata. Namun, manusia tidak menjaga ketawazunannya, tidak memenuhi hak dan kewajibannya, dan tidak rela saat Yang Punya memintanya.

Karena itu Ibnu ‘Athaillah berkata “Bersungguh-sungguhlah dengan kehinaanmu, niscaya Ia akan menolongmu dengan kemuliaannya. Bersungguh-sungguhlah dengan ketidakberdayaanmu, niscaya Ia akan menolongmu dengan kekuasaannya. Bersungguh-sungguhlah dengan kelemahanmu, niscaya Ia akan menolongmu dengan kekuatannya.” Allah adalah Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah. Dengan segala kelemahan, kehinaan dan kekhilafan manusia, Dia masih menebarkan kasih dan kemurahannya.

Raih dan genggamlah erat janji Allah. Kita harus berlomba-lomba untuk mendapatkan kedudukan yang terbaik di hadapan-Nya. Agar kita mampu menjadi manusia-manusia yang teristimewa. Sehingga kita akan menuai pinjaman-pinjaman yang terbaik dari-Nya.

Dan keadilan Allah itu sungguh nyata. Ketika raga memiliki batas-batasnya, masih ada satu sisi abadi yang mengiringi. Ya.. jiwa kita. Jiwa manusia adalah sesuatu yang kekal selama Allah menghendakinya.

Jiwa manusia itu sungguh misteri dunia. Tak ada kata yang sanggup meluapkannya. Tak ada warna yang mampu melukiskannya. Bahkan kita  sendiri belum tentu mengenal jiwa kita. Terkadang tak tahu apa yang diinginkan, apa yang diimpikan, apa tujuan yang sekarang telah ada di jalur kebenaran. Namun jiwa itu lebih luas dari langit. Karena itu untuk mengerti jiwa dan diri sendiri itu lebih sulit dan lebih halus dari pada mengenali musuh, begitu ungkap ulama terkenal Sahal bin Abdillah. Benarlah jika kita sering merasa bangga dan takjub dengan setitik hal yang kita lakukan. Seolah-olah kita tak pernah menanam salah. Malu untuk berkaca pada masa lalu.

Jiwa adalah mutiara yang tertanam begitu dalam di balik raga. Hal ini membuat kita sulit mengenali jiwa kita sendiri. Terkadang kita sibuk mencerca orang namun lupa dengan apa yang telah kita tanam. Jangan berpikir untuk lari atau pun sembunyi. Kita menanam maka, kita yang akan menuai. Setiap kealpaan kita, akan mendapat balasannya. Karenanya jangan suka menyibukkan diri dengan kekurangan orang lain. Bermuhasabahlah pada diri sendiri. Jangan malu berkaca pada masa lalu. Jadikan itu sebagai pelajaran jika meninggalkan luka. Dan jangan puas atas setiap kebaikan yang meninggalkan bahagia. Teruslah berlari meraih apa yang abadi. Jangan terlena dengan dunia yang fana.
Kenalilah jiwa kita, sehingga kita tidak akan mudah merasa puas dan menyerah. Untuk mendapatkan cinta dan ridha Illahi berlakulah sebuah perlombaan. Dan di dalamnya hanya ada menang dan kalah. Mulailah sekarang juga. Kenali jiwa. Perbaiki diri kita. Malulah menjadi manusia yang hina. Mari kita sulap kekhilafan dan kelupaan menjadi pacuan untuk sebuah perbaikan.

Ketika manusia telah dapat mengenali jiwanya, beruntunglah ia. Dia akan dapat mengendalikan hawa nafsunya, meluruskan kembali jalannya, dan saat terjatuh dia akan mampu berdiri sendiri.

“Allahumma arrifni nafsii”  Ya Allah kenalkanlah aku pada diriku… itulah sebait doa yang terucap oleh Yusuf bin Asbath. Mengenali jiwa kita bukanlah sesuatu yang mudah. Butuh keistiqamahan dalam menjaga keimanan, agar Allah senantiasa membuka nurani kita. Sehingga kita dapat menilik bahwa kebaikan yang pernah kita lakukan belumlah seberapa.

Basahilah hati dengan dzikir agar ia tak layu. Pekalah terhadap diri sendiri. Musuh kita adalah diri kita sendiri. Karena yang bisa membebaskan kita dari siksa api neraka hanyalah diri kita sendiri dengan ridha Rabb semesta alam. Ridho itu mahal harganya. Mari saling mengingatkan dan menasihati. Terkadang untuk sebuah kebaikan memang diperlukan pemaksaan. “Genderang perang itu telah lama bertalu di sini, di dalam jiwa kita ini. Bersiap siagalah selalu.” (Muhammad Nursani)
 
“ Inna min shalahi nafsi, ilmii bifasaadihaa…” Sesungguhnya termasuk kebaikan jiwaku adalah pengetahuanku tentang kerusakan jiwaku. (Wahib bin Wurd). Waallahu ’alam   

Segulung Doa Untuk Jiwa Kelara…
Karena Rindu Pada Rabbnya..

Ya Rabb … bagikan pada kami rasa takut kepada-Mu yang dapat menghalangi kami untuk berbuat maksiat. Yang bisa mengantar kami ke surga-Mu. Yang dapat menguatkan akar cinta kami pada-Mu. Yang terpatri dalam hati yang suci. Tersucikan atas ridha-Mu.

Ya  Illahi Rabbii..

Setiap luapan amarah, sedih, kecewa, tak puas, air mata, lelah, penat, bosan, lupa, tertinggal dan masih banyak lagi rasa milik hati yang dalam keadaan hampir mati. Semua itu benar-benar bisa membunuh hati ini. Hamba takut jika suatu saat hati hamba yang terjangkit virus-virus yang melemahkan ini. Karenanya jauhkanlah Ya Rabb..

Tapi hamba lupa kalau rasa bukan hanya itu saja. Ada bahagia, riang, gembira, tawa, senang, syukur, semangat, dan masih banyak lagi rasa perwujudan akan kebahagiaan. Jika mengingat hal ini hamba tak takut akan penyakit-penyakit tersebut. Hamba akhirnya sadar bahwa semua rasa baik bahagia atau pun kebalikannya… itu semualah yang membuat hati kita kuat. Menempa hati kita agar penat lalu muncul semangat.

Ayna Afanin
Dakwatuna

Rabu, 24 Februari 2016

Tidak Ada Istirahat di Jalan Perjuangan

Alkisah seorang sahabat senior yang sudah sangat tua umurnya, lemah badannya, tertatih jalannya, ditegur oleh seorang muda yang merasa kasian ketika melihatnya. Sahabat senior tersebut dengan segala keterbatasannya masih semangat untuk berjihad fi sabilillah, padahal umurnya sudah mendekati satu abad. Ia merupakan seorang yang tak pernah absen dalam jihad fii sabilillah, kecuali pada satu waktu ketika ia izin untuk menunaikan ibadah haji. Telah banyak perjuangan dan pengorbanannya untuk tegaknya agama Islam. Kini ketika usianya menua, sudah sepantasnya ia menikmati istirahat yang nyaman. Mempergilirkan tongkat perjuangan kepada generasi di bawahnya. Dan itulah yang ada di pikiran si anak muda. Menurutnya, dan memang semua orang secara umum ketika itu berpendapat begitu—bahkan Yazid bin Muawiyah pada episode lain juga berpendapat yang sama: sudahlah pak, Anda sudah tua, biarkan perjuangan ini jadi tanggung jawab kami yang muda, silakan Anda istirahat saja menikmati masa tua Anda. Sejujurnya kami tidak tega melihat orang setua Anda harus terjun ke medan perang….

Tapi orang tua ini tak gentar. Ia adalah seorang yang mendengar langsung Nabi  bersabda “Latuftahannal qastanthiniyyah, falani’mal amiir amiiruha, walani’mal jaisy, dzalikal jaisy”. “Sungguh akan takluk Konstantinopel, sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin penaklukkan itu, dan sebaik-baik pasukan adalah yang membersamainya”. Orang tua itu akhirnya diketahui bernama Abu Ayyub Al-Anshari, seorang yang ikut serta dalam baiat Aqabah kedua ketika usianya sekitar 47 tahun.

Melihat kegigihan orang tua tersebut, anak muda yang merasa sangat kasian melihatnya harus turun perang di umurnya yang sudah sangat tua ini kemudian mengutip ayat Al-Quran, Al-Baqarah ayat 195:
Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”

Dalam pengertian dia, ayat ini menjadi dalil agar orang tua itu “tidak menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan”. Tentu saja, bukankah ikut perang di usia yang sudah senja, dengan gerakan yang tak lagi segesit ketika muda, sama dengan menjatuhkan diri pada kematian? Anak muda ini begitu khawatir orang tua itu justru menjerumuskan dirinya sendiri dengan ikut perang, dan dengan dalil ayat ini ia sangat yakin sebaiknya orang tua tersebut menepi saja. Masuk akal, bukan? Seorang yang sudah sangat tua, keikutsertaannya di perang justru akan membinasakan dirinya, sementara Alquran melarang membinasakan diri sendiri, sehingga seharusnya orang tua itu tak ikut perang. Begitulah yang ada di pikiran si anak muda.

Namun alih-alih gentar, ketika anak muda itu membacakan ayat tersebut, Abu Ayyub justru gusar. Ia lalu bertanya, “wahai anak muda, tahukan kau apa makna ayat yang kau bacakan itu?”

Sebab Abu Ayyub tahu betul apa maknanya. Ia hidup dan menyaksikan sendiri bagaimana peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat 195 dari surat Al-Baqarah tersebut. Dan konteksnya sangat berbeda dengan yang dimaksud oleh si anak muda.

Ayat itu turun ketika kaum Anshar (orang-orang asli Madinah yang menerima dan terus membersamai beliau semenjak hijrah) meminta keringanan kepada Rasulullah untuk “cuti dari perjuangan—jihad fii sabiilillah”. Mereka merasa sudah terus bersetia dalam mendukung dan membantu Rasulullah beserta para Muhajirin. Mereka menyediakan tempat tinggal, menyiapkan makanan, ikut dalam semua peperangan untuk mempertahankan agama Islam, berjuang bersama-sama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Pada waktu itu peperangan terjadi begitu banyaknya, dari mulai yang besar sampai yang kecil, dari mulai yang defensif mempertahankan Madinah dari gempuran musuh, sampai yang ekspansif menyerang kediaman musuh pasca perang Khandaq, dari mulai peperangan dengan perlawanan sampai peperangan tanpa kekerasan karena musuh memilih untuk menyerah duluan. Kaum Anshar ikut dalam semua proses itu, terlibat langsung sebagai salah satu tokoh utama yang berperan besar dalam meraih kemenangan.

Wajar jika kemudian mereka meminta keringanan untuk beristirahat sejenak. Alasan mereka pun sangat masuk akal: “wahai Rasulullah, kami harus mengurusi kebun-kebun kami, mengurusi keluarga-keluarga kami”. Ketika itu peperangan memang sangat banyak jumlahnya, jarak antara satu perang dengan perang berikutnya begitu pendeknya, sehingga sering kali tak memberikan jeda bagi mereka untuk beraktivitas seperti biasa. Jika mereka terus-terusan berada di medan perang, lantas siapa yang mengurusi kebun-kebun dan keluarga mereka? Bukankah aktivitas ekonomi dan keluarga tak kalah pentingnya?
Dan apa jawaban Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau hanya mengutip sebuah ayat:
Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”

Ya, ayat yang dikutip beliau adalah Al-Baqarah ayat 195, ayat yang sama yang kelak dibacakan si anak muda kepada Abu Ayyub, tapi dalam pemaknaan yang jauh berbeda. Ayat itu turun bukan sebagai pembenaran untuk menepi dari jalan perjuangan, tapi justru sebagai sanggahan atau penolakan terhadap permintaan “cuti” yang diajukan oleh kaum Anshar. Mereka memang sudah berjuang banyak, berkorban begitu dahsyat, bersetia tanpa syarat, tapi itu semua tidak bisa menjadi alasan untuk sejenak berhenti dari keikutsertaan dalam peperangan. Tidak ada urusan perizinan dalam masalah ini!
Yang dimaksud oleh ayat tersebut dengan “menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri” bukanlah berangkat perang dengan “modal nekat” seumpama Abu Ayyub dalam pandangan si anak muda, tapi yang dimaksud adalah menyengaja (yang artinya dengan sepenuh kesadaran) untuk tidak ikut serta dalam peperangan, atau dalam konteks yang lebih luas: menyengaja untuk izin dan cari-cari alasan untuk menghindar dari agenda dakwah dan perjuangan. Dan, Masya Allah, Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu begitu memahami ayat ini sehingga di usia senjanya masih semangat untuk berangkat perang, menegakkan kalimat Islam.

Ikhwah fillah, kisah tersebut seharusnya jadi tamparan keras buat kita. Siapa kita dibandingkan Abu Ayyub Al-Anshari? Siapa kita dibandingkan orang-orang Anshar? Betapa jauh pengorbanan dan perjuangan kita di jalan dakwah dibandingkan dengan mereka, tapi kenapa sering kali kita merasa memiliki hak untuk menepi, beristirahat menikmati diri sendiri? Betapa sering kemudian kita merasa telah berkorban banyak, lalu menganggap diri sudah tua dan menyerahkan seluruhnya kepada kawan atau orang-orang di bawah kita? Seberapa sering kita merasa jumawa, merasa yang paling mengerti dan paling berbuat banyak untuk dakwah, lalu menjadikannya alasan untuk sejenak (yang biasanya kebablasan) berhenti dari agenda perjuangan? Kita padahal baru bicara perjuangan dengan semampu kita dan belum bicara perang.

Atau jangan-jangan, kita ini memang “generasi afwan”.

“Afwan ustadz, ane gak bisa hadir liqa karena harus ngerjain tugas kuliah”. “Afwan akh ane gak bisa bantu di kepanitiaan syiar ini karena takut kecapekan dan gak bisa ngatur waktu”. “Afwan ane lagi ngurusin bisnis, belum bisa bantu-bantu di dakwah”. “Afwan dek, sekarang giliran antum yang ngurusin, ane istirahat ya karena tahun kemarin udah ngurusin banyak”. “Afwan…”

Subhanallah, dengan semua alasan yang kita kemukakan untuk menepi dari jihad fii sabilillah, tanpa sadar kita sebenarnya sedang dalam proses menjerumuskan diri kita sendiri dalam kebinasaan, sebagaimana makna yang terkandung dalam Al-Baqarah ayat 195. Jika para aktivisnya menjerumuskan diri dalam kebinasaan, pantas jika kemudian gerak perjuangan itu sendiri seolah-olah buntu dan terasa tak berkembang.
Padahal jalan perjuangan ini adalah satu-satunya jalan yang tak memiliki batas waktu, tidak seperti jam kuliah dan jam kerja. Kuliah dan kerja ada waktunya sendiri, dan ia terbatas, di luar itu kita bebas. Tapi jalan ini waktunya tak terbatas, sebagaimana curhatan Nuh ‘alaihissalam kepada Allah yang diabadikan di surat Nuh: “Ya Allah.. sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam..”. Dakwah ini menuntut 24 jam dalam sehari kita, 30 hari dalam sebulan kita, 12 bulan dalam setahun kita, dan seluruh tahun dalam umur kita, tanpa ada waktu cuti atau jeda. Karena memang tak ada waktu istirahat. “Laa raahah illaa fil-jannah”. Istirahat kita adalah di surga Allah (Aamin yaa rabbal ‘aalamiin, semoga Allah memasukkan kita ke sana). Dan mau tidak mau kita harus siap, jangan lemah dan jangan melemah-lemahkan kekuatan kita, karena sesungguhnya Allah tidak akan membebani melampaui kesanggupan kita. Hanya saja sering kali justru kita sendiri yang menurunkan standar kesanggupan kita.

Ikhwah fillah, alasan bisa dicari-cari, tapi Allah Maha Tahu apa yang ada di dalam hati. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang menjerumuskan diri sendiri ke dalam kebinasaan.

Wallahu a’lam bishshowaab

Ibrohim Abdul Halim
Dakwatuna

Selasa, 23 Februari 2016

Do'a Ku, Ya Allah Izinkan Aku Tetap Berada di Tarbiyah Ini

Aku tahu tarbiyah bukanlah jaminan untuk memperoleh JannahMu, tapi bukankah dengan tarbiyah aku mempunyai kesempatan lebih untuk memperoleh janahMu??? Tak terhitung berapa kali aku menghadiri lingkaran kecil itu, ada perasaan bahagia, rindu, sedih atau bahkan kesal. Bahagia karena aku mendapatkan ilmu lebih dan ibadahku lebih terpantau. Rindu karena mereka bukan siapa-siapaku, tetapi mereka akan selalu menjadi orang pertama yang meneguhkanku ketika aku terpuruk. Sedih karena adakalanya sesekali aku harus berpisah dengan mereka untuk memaknai kata ukhuwah. Dan kesal karena aku sering diatur dan waktuku banyak tersita.

Tarbiyah…apakah sudah menempaku menjadi orang-orang seperti dalam madrasah Nabi?? Jika tarbiyah adalah salah satu pintu kesempatan menuju janahNya, apakah aku sudah memanfaatkan kesempatan itu dengan baik? Atau jangan-jangan aku adalah salah satu orang yang merugi.

Ya Allah…Seringkali aku mengecewakan seorang insan yang rela meluangkan waktunya untukku, seseorang yang kupanggil murobbi. “Mbak afwan, ana tidak bisa liqo karena disuruh pulang.” Pernah suatu kali aku tak berangkat liqo dan aku mencari alasan untuk izin pada murobbi, mengatakan tidak bisa datang taklimat karena tugas kuliah menumpuk, besok ada mid ataupun alasan-alasan yang lain. Padahal aku tahu ikhtiar berbanding lurus dengan doa. Dan aku hafal diluar kepala “Barang siapa yang menolong agama Allah maka ia akan ditolong oleh Allah.” Mengapa kadang aku mementingkan duniaku daripada akhiratku? Apakah yang kudapatkan selama ini belum juga melembutkan hatiku? Lalu bagaimana dengan keberkahan Allah, Apakah pintu syurga itu masih terbuka untukku.

Demi Masa….Aku sering telat berangkat liqo bahkan bisa dihitung dengan jari berapa kali aku tidak telat. Aku sering menyepelekan ketidakindibathankku, padahal aku tahu waktu itu adalah pedang yang kapan saja jika Allah berkehendak, pedang itu akan membunuhku. Belum lagi kemaksiatan-kemaksiatan lain yang kuperbuat, zina mata, zina mulut, zina telinga, zina tangan, zina kaki dan yang lebih parah zina hati. Aku bisa sempurna menjalankan amanah dakwahku tapi bagaimanakah dengan ruhiyahku? Bagaimanakah dengan kondisi hatiku? Di luar aku adalah salah satu akhwat yang sering dielu-elukan karena profesionalitas amanahku tapi bagaimanakah pandangan adik-adikku di kos. Lalu jika mereka sinis memandangku, Bagaimanakah pandangan Allah kepadaku?

Ya Rabbi … sebenarnya aku takut tapi bukankah cinta itu fitrah. Toh apa yang kulakukan tidak melampaui batas. Aku tahu jika aku melakukan sesuatu hatiku berdebar-debar tidak tenang, cemas dan takut adalah kemaksiatan namun mengapa hatiku tak bisa mengendalikan apa yang kuperbuat. Aku seolah-olah larut, menikmati yang kuperbuat, bahkan membenarkan apa yang kuperbuat. Apa yang terjadi denganku? Apakah memang hati ini benar-benar sudah mati? Lalu masihkah engkau mengabulkan permohonanku sementara aku seenaknya membuat Mu cemburu.

Tentang ukhuwah…barangkali aku adalah salah satu orang yang belum bisa memberikan hak-hak ukhuwah pada saudaraku. Aku sering pura-pura tidak tahu jika saudaraku sedang kesulitan, bahkan hanya sekedar mengucapkan ‘barakallah’ kadang aku tak sempat. Apalagi mendoakannya. Padahal aku tahu orang-orang yang berdiri di menara cahaya dalam salah satu ruang di syurga yang membuat iri nabi dan sahabat adalah ia yang selalu mengatakan “aku mencintaimu karena Allah.” Barangkali mengapa aku tak bisa DF, membina dengan baik adalah bagian dari ketidakpandaianku mengeja kata ukhuwah dan kekotoran hatiku.

Ya Ghofur… ampuni kesalahanku. bimbing dan tuntunlah aku untuk tetap berada di tarbiyah ini. Jangan biarkan aku terjatuh karena aku masih membutuhkan mereka untuk menyempurnakan ibadahku. Lembutkan hatiku, jadikan aku orang-orang yang lebih dikenal oleh penduduk langit.

Bismillah…mulai hari ini aku akan berubah menjadi lebih baik untuk mendapatkan janahMu. (shifaqolbi)

Rabu, 27 Januari 2016

TA'LIFUL QULUB...

“Ruh-ruh itu adalah tentara-tentara yang
selalu siap siaga, yang telah saling mengenal
maka ia (bertemu dan) menyatu, sedang yang
tidak maka akan saling berselisih (dan saling
mengingkari)”. (HR. Muslim)

Inilah karakter ruh dan jiwa manusia, ia adalah
tentara-tentara yang selalu siap siaga,
kesatuaannya adalah kunci kekuatan, sedang
perselisihannya adalah sumber bencana dan
kelemahan.

Jiwa adalah tentara Allah yang sangat
setia, ia hanya akan dapat diikat dengan kemuliaan
Yang Menciptakanya,.

Allah berfirman yang artinya:

“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-
orang yang beriman). Walaupun kamu
membelajakan semua (kekayaan) yang berada
dibumi, niscaya kamu tidak dapat
mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah
telah mempersatukan hati mereka.

Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. (QS. 8:63)

Dan tiada satupun ikatan yang paling kokoh untuk
mempertemukannya selain ikatan akidah dan
keimanan.

Imam Syahid Hasan Al Banna
berkata:“Yang saya maksud dengan ukhuwah
adalah terikatnya hati dan ruhani dengan
ikatan aqidah.

Aqidah adalah sekokoh-kokoh
ikatan dan semulia-mulianya.

Ukhuwah adalah
saudaranya keimanan, sedangkan perpecahan
adalah saudara kembarnya kekufuran” . (Risalah
Ta’lim, 193)

Sebab itu, hanya dengan kasih mengasihi karena
Allah hati akan bertemu, hanya dengan membangun
jalan ketaatan hati akan menyatu, hanya dengan
meniti di jalan dakwah ia akan berpadu dan hanya
dengan berjanji menegakkan kalimat Allah dalam
panji-panji jihad fi sabilillah ia akan saling erat
bersatu.

Maka sirami taman persaudaraan ini
dengan sumber mata air kehidupan sebagai berikut:

1. Sirami dengan mata Air Cinta dan Kasih sayang
Kasih sayang adalah fitrah dakhil dalam jiwa setiap
manusia, siapapun memilikinya sungguh memiliki
segenap kebaikan dan siapapun yang
kehilangannya sungguh ditimpa kerugian.

Ia
menghiasi yang mengenakan, dan ia menistakan
yang menanggalkan.

Demikianlah pesan-pesan
manusia yang agung akhlaqnya menegaskan.

Taman persaudaraan ini hanya akan subur oleh
ketulusan cinta, bukan sikap basa basi dan
kemunafikan.

Taman ini hanya akan hidup oleh
kejujuran dan bukan sikap selalu membenarkan.

Ia
akan tumbuh berkembang oleh suasana nasehat
menasehati dan bukan sikap tidak peduli, ia akan
bersemi oleh sikap saling menghargai bukan sikap
saling menjatuhkan, ia hanya akan mekar bunga-
bunga tamannya oleh budaya menutup aib diri dan
bukan saling menelanjangi.

Hanya ketulusan cinta
yang sanggup mengalirkan mata air kehidupan ini,
maka saringlah mata airnya agar tidak bercampur
dengan iri dan dengki, tidak keruh oleh hawa nafsu,
egoisme dan emosi, suburkan nasihatnya dengan
bahasa empati dan tumbuhkan penghargaannya
dengan kejujuran dan keikhlasan diri.

Maka
niscaya ia akan menyejukkan pandangan mata
yang menanam dan menjengkelkan hati orang-
orang kafir (QS.48: 29).

2. Sinari dengan cahaya dan petunjuk jalan.
Bunga-bunga tamannya hanya akan mekar
merekah oleh sinar mentari petunjuk-Nya dan akan
layu karena tertutup oleh cahaya-Nya.

Maka
bukalah pintu hatimu agar tidak tertutup oleh sifat
kesombongan, rasa kagum diri dan penyakit
merasa cukup.

Sebab ini adalah penyakit umat-
umat yang telah Allah binasakan.

Dekatkan hatimu
dengan sumber segala cahaya (Alquran) niscaya ia
akan menyadarkan hati yang terlena, mengajarkan
hati yang bodoh, menyembuhkan hati yang sedang
sakit dan mengalirkan energi hati yang sedang letih
dan kelelahan.

Hanya dengan cahaya, kegelapan
akan tersibak dan kepekatan akan memudar hingga
tanpak jelas kebenaran dari kesalahan, keikhlasan
dari nafsu, nasehat dari menelanjangi,
memahamkan dari mendikte, objektivitas dari
subjektivitas, ilmu dari kebodohan dan petunjuk dari
kesesatan.

Sekali lagi hanya dengan sinar cahaya-
Nya, jendela hati ini akan terbuka.

“Maka apakah
mereka tidak merenungkan Al Quran ataukah
hati mereka telah terkunci” . (QS. 47:24)

3. Bersihkan dengan sikap lapang dada
Minimal cinta kasih adalah kelapangan dada dan
maksimalnya adalah itsar ( mementingkan orang
lain dari diri sendiri) demikian tegas Hasan Al
Banna.

Kelapangan dada adalah modal kita dalam
menyuburkan taman ini, sebab kita akan
berhadapan dengan beragam tipe dan karakter
orang, dan “siapapun yang mencari saudara
tanpa salah dan cela maka ia tidak akan
menemukan saudara”

inilah pengalaman hidup
para ulama kita yang terungkap dalam bahasa kata
untuk menjadi pedoman dalam kehidupan.

Kelapangan
dada akan melahirkan sikap selalu memahami dan
bukan minta dipahami, selalu mendengar dan bukan
minta didengar, selalu memperhatikan dan bukan
minta perhatian, dan belumlah kita memiliki sikap
kelapangan dada yang benar bila kita masih selalu
memposisikan orang lain seperti posisi kita, meraba
perasaan orang lain dengan radar perasaan kita,
menyelami logika orang lain dengan logika kita,
maka kelapangan dada menuntut kita untuk lebih
banyak mendengar dari berbicara, dan lebih banyak
berbuat dari sekedar berkata-kata.

“Tidak
sempurna keimanan seorang mukmin hingga ia
mencintai saudaranya seperti ia mencintai
dirinya”. ( HR. Bukhari Muslim)

4. Hidupkan dengan Ma’rifat
Hidupkan bunga-bunga di taman ini dengan
berma’rifat kepada Allah dengan sebenar-benar
ma’rifat, ma’rifat bukanlah sekedar mengenal atau
mengetahui secara teori,

namun ia adalah
pemahaman yang telah mengakar dalam hati
karena terasah oleh banyaknya renungan dan
tadabbur, tajam oleh banyaknya dzikir dan fikir,
sibuk oleh aib dan kelemahan diri hingga tak ada
sedikitpun waktu tersisa untuk menanggapi ucapan
orang-orang yang jahil terlebih menguliti kesalahan
dan aib saudaranya sendiri, tak ada satupun masa
untuk menyebarkan informasi dan berita yang tidak
akan menambah amal atau menyelesaikan masalah
terlebih menfitnah atau menggosip orang.

Hanya
hati-hati yang disibukkan dengan Allah yang tidak
akan dilenakan oleh Qiila Wa Qaala (banyak
bercerita lagi berbicara)

dan inilah ciri kedunguan
seorang hamba sebagaimana yang ditegaskan
Rasulullah apabila ia lebih banyak berbicara dari
berbuat, lebih banyak bercerita dari beramal, lebih
banyak berangan-angan dan bermimpi dari beraksi
dan berkontribusi.

“Diantara ciri kebaikan
Keislaman seseorang adalah meninggalkan yang
sia-sia”. ( HR. At Tirmidzi).

5. Tajamkan dengan cita-cita Kesyahidan
“Pasukan yang tidak punya tugas, sangat potensial
membuat kegaduhan”

inilah pengalaman medan
para pendahulu kita untuk menjadi sendi-sendi
dalam kehidupan berjamaah ini.

Kerinduan akan
syahid akan lebih banyak menyedot energi kita
untuk beramal dari berpangku tangan, lebih
berkompetisi dari menyerah diri, menyibukkan
untuk banyak memberi dari mengoreksi, untuk
banyak berfikir hal-hal yang pokok dari hal-hal
yang cabang.

“Dan barang siapa yang meminta
kesyahidan dengan penuh kejujuran, maka Allah
akan menyampaikanya walaupun ia meninggal
diatas tempat tidurnya”. ( HR. Muslim)

“Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha
Mengetahui bahwa hati-hati ini telah bersatu
berkumpul untuk mencurahkan mahabbah
hanya kepadaMu,

bertemu untuk taat kepada-
Mu,

bersatu dalam rangka menyeru (dijalan)-
Mu,

dan berjanji setia untuk membela syariat-
Mu,

maka kuatkanlah ikatan pertaliannya, ya
Allah,

abadikanlah kasih sayangnya,

tunjukkanlah jalannya dan penuhilah dengan
cahay-Mu yang tidak pernah redup,

lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman
dan keindahan tawakkal kepada-Mu,

hidupkanlah dengan ma’rifat-mu,

dan
matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-mu.

Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan
sebaik-baik penolong”.

Amin…

Selasa, 26 Januari 2016

"Partisipasi"

(Salim A Fillah)

IJINKAN aku bicara tentang makna kecil partisipasi kita. Mungkin kau adalah peserta atau juga bahkan adalah pengisi, ataupun sekedar orang yang pernah melihat dan menemui fenomena seperti ini, di zaman ini:

“… Ketika beliau keluar tiba-tiba beliau dapati para sahabat duduk dalam halaqoh (lingkaran). Beliau bertanya, “Apakah yang mendorong kalian duduk seperti ini?” Mereka menjawab, “Kami duduk berdzikir dan memuji Alloh atas hidayah yang Alloh berikan sehingga kami memeluk Islam.”

Maka Rosululloh bertanya, “Demi Alloh, kalian tidak duduk melainkan untuk itu?” Mereka menjawab, “Demi Alloh, kami tidak duduk kecuali untuk itu.” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya saya bertanya bukan karena ragu-ragu, tetapi Jibril datang kepadaku memberitahukan bahwa Alloh membanggakan kalian di depan para malaikat.” (HR. Muslim, dari Mu’awiyah)

Di tempat inilah disambung keteladanan sejarah. Di forum seperti yang dicontohkan para sahabat, para ghuroba’(orang-orang terasing) masa kini mewujudkan sabda Nabi bahwa mu’min itu cermin bagi Mu’min yang lain. Mereka saling bercermin diri, tentang perkembangan tilawah al-Qur’an dan hafalannya, tentang sholat malamnya, dan tentang puasa sunnahnya. Semangatnya tergugah mendengar yang lain menyalip amal-amalnya. Ia jadi malu mendapati dirinya tak bisa mengatur waktu.

Mereka saling menyebutkan kabar gembira sampai semua merasa bahagia mendengar salah seorang sahabatnya mendapat nilai A. Mereka saling berbagi agar masalah tak terasa sendiri dihadapi. Ada yang bercerita tentang amanah-amanah da’wahnya yang katanya semakin mengasyikkan, atau semakin menantang. Yang berkeluasan rizqi membawakan pisang goreng yang tadi pagi dibuat ibunya, atau mangga yang dipetik dari halaman rumahnya.

Sesekali mereka ganti setting forumnya, dengan menginap agar bisa lebih panjang bercengkerama. Lalu mereka dirikan Qiyamullail bersama. Pernah juga mereka lakukan wisata. Mereka bertemu di tempat rekreasi yang sepi, mengingat Ilahi dan mengagumi kebesaran ciptaan-Nya. Mereka berdiskusi disaksikan air terjun, punggung bukit bercemara, hutan berlembah yang menawan, atau pasir pantai memutih diterpa gelombang.

Tentu saja yang jauh lebih utama, mereka mengingat Alloh dalam sebuah kumpulan, agar Alloh mengingat mereka dalam kumpulan yang lebih baik. Mereka baca kitabulloh, mereka kupas isinya, mereka dapati bahwa al-Qur’an menyuruh mereka bersaudara dalam cinta dan mentauhidkan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Tidak ada tekad ketika bubar dan saling bersalaman mendoakan, selain agar yang mereka bahas menjadi amal kenyataan.

“Tidaklah suatu kaum berjumpa di suatu rumah dari rumah-rumah Alloh, mereka membaca kitabulloh, dan mempelaiarinya di antara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rohmat meliputi majelisnya, Malaikat menaungi mereka, dan Alloh menyebut-nyebut mereka dengan bangga di depan malaikat-malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim, dari Abu Huroiroh)

Di sana bisa kita jumpai wajah saudara yang jenaka, yang pendiam, dan yang tampak lelah karena banyak amanah. Tapi Subhanalloh… Ini adalah cahaya yang bergetar di antara mereka. Ia bergetar untuk menjadi refleksi jiwa, percepatan perbaikan diri dan perbaikan ummat dalam medium atmosfer cinta. Saya tak ragu lagi menyebut forum yang terkenal dengan kata liqo’at (pertemuan) ini, sebagai Getar Cahaya di Atmosfer Cinta.

Bahkan ketika suatu waktu Anda yang belum pernah mengikuti forum ini tidak sengaja menemui mereka sedang ada di Masjid Kampus, Musholla Sekolah, rumah seorang Ustadz atau markaz da’wah, lalu Anda bergabung dengan niat serta keperluan yang lain atau mungkin karena iseng saja, Anda takkan pernah kecewa. Percayalah, Anda tak akan pernah kecewa.

Seorang malaikat berkata, “Robbi, di majelis itu ada orang yang bukan dari golongan mereka, hanya bertepatan ada keperluan maka datang ke majelis itu.” Alloh berfirman, “Mereka adalah ahli majelis yang tiada akan kecewa siapa pun yang duduk membersamainya!” (Muttafaq ‘Alaih, dari Abu Huroiroh)

Maka demi Alloh, apa yang Anda tunggu? Perkenalkan diri Anda pada mereka sejelas-jela
snya. Katakan, Anda ingin bergabung dengan pertemuan pekanan mereka. Kalau majelis itu sudah terlalu sesak, lalu efektifitasnya drop, pengasuh majelis itu pasti akan mencarikan sebuah majelis lain yang indah untuk Anda. Kalau di sekolah Anda dan di kampus Anda ada kegiatan bernama Mentoring, Asistensi Agama Islam atau nama lainnya, barangkali itu pintu lain bagi Anda memasuki Getar Cahaya di Atmosfer Cinta ini. Setelah itu, bisa jadi Alloh akan menguji Anda. mungkin dengan perasaan Anda bahwa majelis ini tidak seperti yang Anda harapkan. Maka bersabarlah.

“Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (Qs. Alam Nasyroh [94]: 5-6)

***
Beberapa ikhwah mengeluh mendapati beberapa saudaranya telah berubah ketika pindah ke lain kota. Ada gambaran, betapa sulitnya menjaga istiqomah ketika jauh dari lingkungan iman semula. Apa yang diceritakan Hanzholah ibn ar-Robi’, bisa menjadi ‘ibroh bahwa pertemuan sesaat demi sesaat dalam majelis ini adalah sarana penjaga konsistensi dan sikap istiqomah -yang kadang-kadang tanpa perlu kita sadari-.

Ketika Abu Bakr berkunjung dan menanyakan kabarnya, Hanzholah pun menjawab, “Hanzholah telah menjadi munafiq!”. Terperanjat Abu Bakr, lalu ia berkata, “Subhanalloh, apa yang engkau ucapkan?” Kata Hanzholah, “Kita sering bersama Rosululloh, beliau mengingatkan kita tentang surga dan neraka seolah-olah kita melihatnya dengan mata kepala. Namun ketika kita keluar dari sisi Rosululloh, bercengkerama dengan anak-anak serta sibuk dengan pekerjaan, kita pun banyak melupakannya.”

“Demi Alloh! Sesungguhnya kami juga merasakan hal seperti ini!”, sahut Abu Bakr membenarkan. Tak ada curhat yang lebih indah daripada curhat para sahabat. Ya, mereka pun kembali pada Murobbi-nya, Rosululloh Mushthofa. Dan beliau pun menenteramkan hati para binaannya.

“… Demi Dzat yang jiwaku ditangan-Nya. Seandainya kalian selalu dalam keadaan sebagaimana ketika kalian ada di sisiku dan dalam berdzikir, niscaya Malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat-tempat tidur, dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi sesaat demi sesaat, wahai Hanzholah! Sesaat demi sesaat, wahai Hanzhalah. Sesaat demi sesaat!”(HR. Muslim dalam Shohihnya, dari Hanzholah)

Akal sehat para peserta liqo’at menuntun mereka untuk menghayati bahwa majelis ini adalah bagian paling asasi dari hidup mereka. Ada waktu yang harus diprioritaskan untuknya lebih dari segala aktivitas lainnya. Kaidahnya jelas: kalau ia tak bersama mereka, ia takkan bersama siapa-siapa; kalau mereka tak bersama dengannya, mereka pasti bersama dengan orang selain dia.

Kadang kita tak merasakan nikmatnya majelis kebersamaan ini. Padahal, orang lain akan melihat kita berubah dan semakin buruk saat kita berhenti menghadirinya untuk suatu waktu yang cukup lama. Memang, ia hanya sepekan sekali. Tetapi bagaimanapun kita tahu, majelis ini adalah majelis ‘ilmu dan dzikir yang tak berhenti sampai bubarnya lingkaran. Ketika mereka menutup pertemuan dan pergi untuk keperluan masing-masing, lingkaran itu hanya melebar. Ia melebar seluas aktivitas mereka.

Tentu. Untuk berpartisipasi bagi ummat dalam jangkauannya, mendistribusikan kesholihan yang terasa manis direguknya
#back to melingkar