Alkisah
seorang sahabat senior yang sudah sangat tua umurnya, lemah badannya,
tertatih jalannya, ditegur oleh seorang muda yang merasa kasian ketika
melihatnya. Sahabat senior tersebut dengan segala keterbatasannya masih
semangat untuk berjihad fi sabilillah, padahal umurnya sudah mendekati
satu abad. Ia merupakan seorang yang tak pernah absen dalam jihad fii
sabilillah, kecuali pada satu waktu ketika ia izin untuk menunaikan
ibadah haji. Telah banyak perjuangan dan pengorbanannya untuk tegaknya
agama Islam. Kini ketika usianya menua, sudah sepantasnya ia menikmati
istirahat yang nyaman. Mempergilirkan tongkat perjuangan kepada generasi
di bawahnya. Dan itulah yang ada di pikiran si anak muda. Menurutnya,
dan memang semua orang secara umum ketika itu berpendapat begitu—bahkan
Yazid bin Muawiyah pada episode lain juga berpendapat yang sama:
sudahlah pak, Anda sudah tua, biarkan perjuangan ini jadi tanggung jawab
kami yang muda, silakan Anda istirahat saja menikmati masa tua Anda.
Sejujurnya kami tidak tega melihat orang setua Anda harus terjun ke
medan perang….
Tapi orang tua ini tak gentar. Ia adalah seorang yang mendengar langsung Nabi bersabda “Latuftahannal qastanthiniyyah, falani’mal amiir amiiruha, walani’mal jaisy, dzalikal jaisy”.
“Sungguh akan takluk Konstantinopel, sebaik-baik pemimpin adalah
pemimpin penaklukkan itu, dan sebaik-baik pasukan adalah yang
membersamainya”. Orang tua itu akhirnya diketahui bernama Abu Ayyub
Al-Anshari, seorang yang ikut serta dalam baiat Aqabah kedua ketika
usianya sekitar 47 tahun.
Melihat
kegigihan orang tua tersebut, anak muda yang merasa sangat kasian
melihatnya harus turun perang di umurnya yang sudah sangat tua ini
kemudian mengutip ayat Al-Quran, Al-Baqarah ayat 195:
“Dan
infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri
sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat
baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”
Dalam
pengertian dia, ayat ini menjadi dalil agar orang tua itu “tidak
menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan”. Tentu saja, bukankah
ikut perang di usia yang sudah senja, dengan gerakan yang tak lagi
segesit ketika muda, sama dengan menjatuhkan diri pada kematian? Anak
muda ini begitu khawatir orang tua itu justru menjerumuskan dirinya
sendiri dengan ikut perang, dan dengan dalil ayat ini ia sangat yakin
sebaiknya orang tua tersebut menepi saja. Masuk akal, bukan? Seorang
yang sudah sangat tua, keikutsertaannya di perang justru akan
membinasakan dirinya, sementara Alquran melarang membinasakan diri
sendiri, sehingga seharusnya orang tua itu tak ikut perang. Begitulah
yang ada di pikiran si anak muda.
Namun
alih-alih gentar, ketika anak muda itu membacakan ayat tersebut, Abu
Ayyub justru gusar. Ia lalu bertanya, “wahai anak muda, tahukan kau apa
makna ayat yang kau bacakan itu?”
Sebab
Abu Ayyub tahu betul apa maknanya. Ia hidup dan menyaksikan sendiri
bagaimana peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat 195 dari surat
Al-Baqarah tersebut. Dan konteksnya sangat berbeda dengan yang dimaksud
oleh si anak muda.
Ayat
itu turun ketika kaum Anshar (orang-orang asli Madinah yang menerima
dan terus membersamai beliau semenjak hijrah) meminta keringanan kepada
Rasulullah untuk “cuti dari perjuangan—jihad fii sabiilillah”. Mereka
merasa sudah terus bersetia dalam mendukung dan membantu Rasulullah
beserta para Muhajirin. Mereka menyediakan tempat tinggal, menyiapkan
makanan, ikut dalam semua peperangan untuk mempertahankan agama Islam,
berjuang bersama-sama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada waktu itu peperangan terjadi begitu banyaknya, dari mulai yang
besar sampai yang kecil, dari mulai yang defensif mempertahankan Madinah
dari gempuran musuh, sampai yang ekspansif menyerang kediaman musuh
pasca perang Khandaq, dari mulai peperangan dengan perlawanan sampai
peperangan tanpa kekerasan karena musuh memilih untuk menyerah duluan.
Kaum Anshar ikut dalam semua proses itu, terlibat langsung sebagai salah
satu tokoh utama yang berperan besar dalam meraih kemenangan.
Wajar
jika kemudian mereka meminta keringanan untuk beristirahat sejenak.
Alasan mereka pun sangat masuk akal: “wahai Rasulullah, kami harus
mengurusi kebun-kebun kami, mengurusi keluarga-keluarga kami”. Ketika
itu peperangan memang sangat banyak jumlahnya, jarak antara satu perang
dengan perang berikutnya begitu pendeknya, sehingga sering kali tak
memberikan jeda bagi mereka untuk beraktivitas seperti biasa. Jika
mereka terus-terusan berada di medan perang, lantas siapa yang mengurusi
kebun-kebun dan keluarga mereka? Bukankah aktivitas ekonomi dan
keluarga tak kalah pentingnya?
Dan apa jawaban Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau hanya mengutip sebuah ayat:
“Dan
infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri
sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat
baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”
Ya,
ayat yang dikutip beliau adalah Al-Baqarah ayat 195, ayat yang sama
yang kelak dibacakan si anak muda kepada Abu Ayyub, tapi dalam pemaknaan
yang jauh berbeda. Ayat itu turun bukan sebagai pembenaran untuk menepi
dari jalan perjuangan, tapi justru sebagai sanggahan atau penolakan
terhadap permintaan “cuti” yang diajukan oleh kaum Anshar. Mereka memang
sudah berjuang banyak, berkorban begitu dahsyat, bersetia tanpa syarat,
tapi itu semua tidak bisa menjadi alasan untuk sejenak berhenti dari
keikutsertaan dalam peperangan. Tidak ada urusan perizinan dalam masalah
ini!
Yang
dimaksud oleh ayat tersebut dengan “menjatuhkan diri sendiri ke dalam
kebinasaan dengan tangan sendiri” bukanlah berangkat perang dengan
“modal nekat” seumpama Abu Ayyub dalam pandangan si anak muda, tapi yang
dimaksud adalah menyengaja (yang artinya dengan sepenuh kesadaran)
untuk tidak ikut serta dalam peperangan, atau dalam konteks yang lebih
luas: menyengaja untuk izin dan cari-cari alasan untuk menghindar dari
agenda dakwah dan perjuangan. Dan, Masya Allah, Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu begitu memahami ayat ini sehingga di usia senjanya masih semangat untuk berangkat perang, menegakkan kalimat Islam.
Ikhwah
fillah, kisah tersebut seharusnya jadi tamparan keras buat kita. Siapa
kita dibandingkan Abu Ayyub Al-Anshari? Siapa kita dibandingkan
orang-orang Anshar? Betapa jauh pengorbanan dan perjuangan kita di jalan
dakwah dibandingkan dengan mereka, tapi kenapa sering kali kita merasa
memiliki hak untuk menepi, beristirahat menikmati diri sendiri? Betapa
sering kemudian kita merasa telah berkorban banyak, lalu menganggap diri
sudah tua dan menyerahkan seluruhnya kepada kawan atau orang-orang di
bawah kita? Seberapa sering kita merasa jumawa, merasa yang paling
mengerti dan paling berbuat banyak untuk dakwah, lalu menjadikannya
alasan untuk sejenak (yang biasanya kebablasan) berhenti dari agenda
perjuangan? Kita padahal baru bicara perjuangan dengan semampu kita dan
belum bicara perang.
Atau jangan-jangan, kita ini memang “generasi afwan”.
“Afwan
ustadz, ane gak bisa hadir liqa karena harus ngerjain tugas kuliah”.
“Afwan akh ane gak bisa bantu di kepanitiaan syiar ini karena takut
kecapekan dan gak bisa ngatur waktu”. “Afwan ane lagi ngurusin bisnis,
belum bisa bantu-bantu di dakwah”. “Afwan dek, sekarang giliran antum
yang ngurusin, ane istirahat ya karena tahun kemarin udah ngurusin
banyak”. “Afwan…”
Subhanallah,
dengan semua alasan yang kita kemukakan untuk menepi dari jihad fii
sabilillah, tanpa sadar kita sebenarnya sedang dalam proses
menjerumuskan diri kita sendiri dalam kebinasaan, sebagaimana makna yang
terkandung dalam Al-Baqarah ayat 195. Jika para aktivisnya
menjerumuskan diri dalam kebinasaan, pantas jika kemudian gerak
perjuangan itu sendiri seolah-olah buntu dan terasa tak berkembang.
Padahal
jalan perjuangan ini adalah satu-satunya jalan yang tak memiliki batas
waktu, tidak seperti jam kuliah dan jam kerja. Kuliah dan kerja ada
waktunya sendiri, dan ia terbatas, di luar itu kita bebas. Tapi jalan
ini waktunya tak terbatas, sebagaimana curhatan Nuh ‘alaihissalam kepada
Allah yang diabadikan di surat Nuh: “Ya Allah.. sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam..”.
Dakwah ini menuntut 24 jam dalam sehari kita, 30 hari dalam sebulan
kita, 12 bulan dalam setahun kita, dan seluruh tahun dalam umur kita,
tanpa ada waktu cuti atau jeda. Karena memang tak ada waktu istirahat. “Laa raahah illaa fil-jannah”.
Istirahat kita adalah di surga Allah (Aamin yaa rabbal ‘aalamiin,
semoga Allah memasukkan kita ke sana). Dan mau tidak mau kita harus
siap, jangan lemah dan jangan melemah-lemahkan kekuatan kita, karena
sesungguhnya Allah tidak akan membebani melampaui kesanggupan kita.
Hanya saja sering kali justru kita sendiri yang menurunkan standar
kesanggupan kita.
Ikhwah
fillah, alasan bisa dicari-cari, tapi Allah Maha Tahu apa yang ada di
dalam hati. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang menjerumuskan
diri sendiri ke dalam kebinasaan.
Wallahu a’lam bishshowaab
Ibrohim Abdul Halim
Dakwatuna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar