Suatu nikmat yang besar dari
Allah manakala kita termasuk dalam segolongan kecil umat manusia yang memiliki
kepedulian terhadap dakwah. Meski kontribusi kita terhadap dakwah ini teramat
belum memadai. Sehingga medan dakwah ini sebagian besar masih berupa padang
luas yang belum terjamah, masih
ditelantarkan, padahal sebenarnya memendam potensi yang amat berharga.
Kepergian ini mungkin terasa
lebih berat andai kami tahu sepeninggal beliau hari-hari yang akan kami jalani
bagai tanpa keberadaan seorang murabbi. Baru dua tahun beliau sekeluarga
merintis dakwah di tempat kami, semenjak bertugas di tempat terpencil ini.
Sebenarnya kami ikut senang ketika mendengar kabar beliau mendapatkan beasiswa
untuk melanjutkan studinya. Rasa kehilangan itu pasti ada, meski sedikit
terobati oleh harapan bahwa sepeninggal beliau kelak, akan ada murabbi lain
yang menggantikannya.
Nyatanya tahun-tahun berlalu
sesudah kepergian beliau, kami seperti anak ayam yang ditinggal induknya. Terkadang
dalam waktu sekian bulan baru kami bisa berjumpa dengan murabbi. Dulu kami
mendapatkan kisah tentang para pendahulu kami, berjalan kaki Solo-Wonogiri pada
malam hari sekedar untuk mengikuti liqo’, namun azzam yang kami miliki tak
sebanding dengan mereka. Kadang-kadang kami masih bermalas-malasan untuk sekedar
berangkat liqo’, masih butuh orang yang tak bosan-bosan mensupport dan
menyemangati kami tuk terus berada di jalan dakwah ini.
Tanpa keberadaan murabbi di
samping kami, satu per satu dari kami pergi meninggalkan halaqoh. Dengan
berbagai sebab, semata-mata futur, menikah, pindah domisili, atau pindah ke
harakah lain. Hingga dalam satu kecamatan ini tersisa tiga ikhwan yang
mengikuti liqo’ ditambah seorang dari kecamatan tetangga.
Sebenarnya daerah ini tak lagi terlalu
terpencil secara geografis. Namun di balik keindahan alamnya, daerah ini
bagaikan padang tandus yang gersang bagi tumbuhnya harakah-harakah, bukan hanya
tarbiyah. Hanya satu dua orang di daerah ini yang merantau atau kuliah kemudian
bersentuhan dengan harakah-harakah itu. Kemudian kebanyakan dari mereka memilih
berdomisili, menikah atau bekerja di luar, sedang yang pulang ke kampung
halamannya, rata-rata menjadi vakum atau setidaknya semangatnya mengendur.
Di balik kesuburan tanahnya,
minat penduduk di daerah ini untuk menempuh pendidikan tinggi menjadi rendah.
Beberapa dekade lalu, pegawai dan guru yang mengajar di sini didominasi
pendatang dari daerah lain seperti Yogyakarta, Klaten, Kebumen, Grobogan dan
beberapa daerah yang minus. Dari daerah-daerah dimana mereka berhadapan dengan kondisi
alam yang keras dan tantangan hidup yang sulit, membuat mereka memiliki motivasi
kuat untuk menempuh pendidikan tinggi. Pernah seorang guru bercerita tentang
pengalamannya mengajar di suatu daerah yang teramat subur, kemudahan untuk
mencari penghidupan membuat siswa-siswa di sana seperti tak memiliki motivasi
belajar.
Daerah ini tak sempat terkena
efek booming harakah-harakah yang terjadi di kota-kota dan kampus. Baru pada
Tahun 2007 kami kedatangan murabbi yang menetap bersama kami, halaqoh ini baru mulai
menggeliat. Menjelang Pemilu 2009 perpisahan itu terjadi. Melengkapi kepergian
orang yang membimbing kami, pada Pemilu 2009 itu kami juga kehilangan kursi di
dewan. Sebelumnya pada Pemilu 2004, kami memiliki anggota dewan yang berasal
dari eksternal, akibat kekecewaan demi kekecewaan yang kami rasakan kemudian
kami mengusung kader sendiri, dan ternyata memang belum mampu.
Lengkap sudah kesendirian kami,
nyaris tanpa aspirasi dan tanpa murabbi. Namun yang sebenarnya lebih mendasar
mungkin adalah ketsiqahan dan azzam kami yang masih teramat lemah, kami bukan
siapa-siapa, kami masih anak-anak yang sekedar mencoba bertahan di halaqoh ini sembari
menyaksikan teman-teman kami satu per satu berguguran dari jalan ini. Sementara
di masyarakat dakwah kami juga nyaris terhenti, beberapa masjid di desa pelosok
yang kami bantu pembangunannya, tanpa diikuti pembinaan lebih lanjut.
Dari puing-puing yang tersisa,
semoga asa ini tetap terjaga. Dari kesendirian ini semoga menjadikan kami
sempat memungut apa yang terluput dari derap langkah saudara-saudara kami di
depan sana. Dari kesunyian ini semoga kami bisa mengais apa yang terlewatkan
dari hiruk pikuk mereka yang berada di garis depan. Sekedar menopang ketika
mereka goyah, menyisakan bekal ketika mereka kehabisan dan lelah.
Dari ketertinggalan kami semoga
menumbuhkan keinginan untuk melangkah lebih cepat. Dari kejatuhan ini, hami
berharap terperosok pada telaga hikmah yang sempat terlewatkan oleh para
penempuh jalan.
Bukankah mahalnya nilai muasis
sebelum kita adalah dari kesendirian mereka. Tatkala mereka melangkahkan kaki,
memulai dari seorang diri. Tanpa memedulikan jauhnya cita yang dituju, namun
bagaimana langkah itu terus melaju. Perjalanan itu menjadi lebih bernilai
daripada apa yang diterima para pewaris kejayaan, penerima estafet kebesaran,
sekalipun mereka melangkah dalam gegap gempita.
Dari apa yang terlewatkan, semoga
ada sisi-sisi lain yang kami bisa lakukan, sekecil apa pun. Sekedar menjadi
kerikil kecil yang berarti, setitik debu di jalan Allah atau setetes embun di
jalan dakwah.
Sumber:
http://www.dakwatuna.com/2013/12/23/43692/yang-terlahir-dari-kesendirian/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar