Minggu, 09 Februari 2014

Yang Terlahir dari Kesendirian


Suatu nikmat yang besar dari Allah manakala kita termasuk dalam segolongan kecil umat manusia yang memiliki kepedulian terhadap dakwah. Meski kontribusi kita terhadap dakwah ini teramat belum memadai. Sehingga medan dakwah ini sebagian besar masih berupa padang luas yang belum terjamah,  masih ditelantarkan, padahal sebenarnya memendam potensi yang amat berharga.

Kepergian ini mungkin terasa lebih berat andai kami tahu sepeninggal beliau hari-hari yang akan kami jalani bagai tanpa keberadaan seorang murabbi. Baru dua tahun beliau sekeluarga merintis dakwah di tempat kami, semenjak bertugas di tempat terpencil ini. Sebenarnya kami ikut senang ketika mendengar kabar beliau mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya. Rasa kehilangan itu pasti ada, meski sedikit terobati oleh harapan bahwa sepeninggal beliau kelak, akan ada murabbi lain yang menggantikannya.

Nyatanya tahun-tahun berlalu sesudah kepergian beliau, kami seperti anak ayam yang ditinggal induknya. Terkadang dalam waktu sekian bulan baru kami bisa berjumpa dengan murabbi. Dulu kami mendapatkan kisah tentang para pendahulu kami, berjalan kaki Solo-Wonogiri pada malam hari sekedar untuk mengikuti liqo’, namun azzam yang kami miliki tak sebanding dengan mereka. Kadang-kadang kami masih bermalas-malasan untuk sekedar berangkat liqo’, masih butuh orang yang tak bosan-bosan mensupport dan menyemangati kami tuk terus berada di jalan dakwah ini.

Tanpa keberadaan murabbi di samping kami, satu per satu dari kami pergi meninggalkan halaqoh. Dengan berbagai sebab, semata-mata futur, menikah, pindah domisili, atau pindah ke harakah lain. Hingga dalam satu kecamatan ini tersisa tiga ikhwan yang mengikuti liqo’ ditambah seorang dari kecamatan tetangga.

Sebenarnya daerah ini tak lagi terlalu terpencil secara geografis. Namun di balik keindahan alamnya, daerah ini bagaikan padang tandus yang gersang bagi tumbuhnya harakah-harakah, bukan hanya tarbiyah. Hanya satu dua orang di daerah ini yang merantau atau kuliah kemudian bersentuhan dengan harakah-harakah itu. Kemudian kebanyakan dari mereka memilih berdomisili, menikah atau bekerja di luar, sedang yang pulang ke kampung halamannya, rata-rata menjadi vakum atau setidaknya semangatnya mengendur.

Di balik kesuburan tanahnya, minat penduduk di daerah ini untuk menempuh pendidikan tinggi menjadi rendah. Beberapa dekade lalu, pegawai dan guru yang mengajar di sini didominasi pendatang dari daerah lain seperti Yogyakarta, Klaten, Kebumen, Grobogan dan beberapa daerah yang minus. Dari daerah-daerah dimana mereka berhadapan dengan kondisi alam yang keras dan tantangan hidup yang sulit, membuat mereka memiliki motivasi kuat untuk menempuh pendidikan tinggi. Pernah seorang guru bercerita tentang pengalamannya mengajar di suatu daerah yang teramat subur, kemudahan untuk mencari penghidupan membuat siswa-siswa di sana seperti tak memiliki motivasi belajar.

Daerah ini tak sempat terkena efek booming harakah-harakah yang terjadi di kota-kota dan kampus. Baru pada Tahun 2007 kami kedatangan murabbi yang menetap bersama kami, halaqoh ini baru mulai menggeliat. Menjelang Pemilu 2009 perpisahan itu terjadi. Melengkapi kepergian orang yang membimbing kami, pada Pemilu 2009 itu kami juga kehilangan kursi di dewan. Sebelumnya pada Pemilu 2004, kami memiliki anggota dewan yang berasal dari eksternal, akibat kekecewaan demi kekecewaan yang kami rasakan kemudian kami mengusung kader sendiri, dan ternyata memang belum mampu.

Lengkap sudah kesendirian kami, nyaris tanpa aspirasi dan tanpa murabbi. Namun yang sebenarnya lebih mendasar mungkin adalah ketsiqahan dan azzam kami yang masih teramat lemah, kami bukan siapa-siapa, kami masih anak-anak yang sekedar mencoba bertahan di halaqoh ini sembari menyaksikan teman-teman kami satu per satu berguguran dari jalan ini. Sementara di masyarakat dakwah kami juga nyaris terhenti, beberapa masjid di desa pelosok yang kami bantu pembangunannya, tanpa diikuti pembinaan lebih lanjut.

Dari puing-puing yang tersisa, semoga asa ini tetap terjaga. Dari kesendirian ini semoga menjadikan kami sempat memungut apa yang terluput dari derap langkah saudara-saudara kami di depan sana. Dari kesunyian ini semoga kami bisa mengais apa yang terlewatkan dari hiruk pikuk mereka yang berada di garis depan. Sekedar menopang ketika mereka goyah, menyisakan bekal ketika mereka kehabisan dan lelah.

Dari ketertinggalan kami semoga menumbuhkan keinginan untuk melangkah lebih cepat. Dari kejatuhan ini, hami berharap terperosok pada telaga hikmah yang sempat terlewatkan oleh para penempuh jalan.

Bukankah mahalnya nilai muasis sebelum kita adalah dari kesendirian mereka. Tatkala mereka melangkahkan kaki, memulai dari seorang diri. Tanpa memedulikan jauhnya cita yang dituju, namun bagaimana langkah itu terus melaju. Perjalanan itu menjadi lebih bernilai daripada apa yang diterima para pewaris kejayaan, penerima estafet kebesaran, sekalipun mereka melangkah dalam gegap gempita.

Dari apa yang terlewatkan, semoga ada sisi-sisi lain yang kami bisa lakukan, sekecil apa pun. Sekedar menjadi kerikil kecil yang berarti, setitik debu di jalan Allah atau setetes embun di jalan dakwah.

Sumber:
http://www.dakwatuna.com/2013/12/23/43692/yang-terlahir-dari-kesendirian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar